Pengantar Matematika Alam Semesta

Sepanjang sejarah peradaban manusia, buku yang paling banyak dibaca, sekaligus dipelajari, ditelaah
dan direnungkan, tak pelak lagi, adalah al-Qur'an. Dari mata air hikmahnya, mengalirlah butiran dan
tetesan ilmu. Bukan hanya ilmu keagamaan namun juga ilmu kealaman dan ilmu kemasyarakatan.

Karena itu, apabila kita membuka lembaran sejarah ilmu Islam, kita menemukan ratusan, bahkan
ribuan, ilmuwan Muslim. Di dalam sejarah Islam, pada Masa Klasik (abad ke -8 hingga ke13 M),
kebanyakan ilmuwan Muslim tidak hanya menekuni satu bidang ilmu, karena pada masa itu tidak
dibedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Karena itu, kita acapkali mendapati seorang ulama
(ahli ilmu agama) sekaligus juga filosof atau ilmuwan (ahli ilmu kealaman, sosial, kedokteran), seperti
Ibn Sina, al-Farabi, Ibn Rusyd, dan lain -lain.
 
Memang pada Abad Pertengahan (abad ke-13 sampai ke18) hingga modern Islam (mulai abad
ke-19), ketika Eropa demikian bergairah mengembangkan ilmu-seraya mencampakkan agama
[Kristen] -lalu mencetuskan Revolusi Industri, Dunia Islam hampir sama sekali tidak mampu
mengembangkan ilmu. Tidak banyak ilmuwan lahir pada masa kegelapan itu. Dunia Islam terpuruk
dalam berbagai keterbelakangan dan kejumudan. Produk ilmunya pun hanya bersifat "daur ulang"   dan
itu pun sebagian besar dalam bidang keagamaan. Praktek kehidupan kaum Muslim dicemari oleh
bid'ah, khurafat dan takhayul.
 
Ketika kaum Muslim bersentuhan dengan Barat-meski dalam bentuk kolonialisme dan
imperialisme -mata sebagian ulama dan pemikir Dunia Islam menjelang zaman modern mulai terbuka.
Mereka merasa ada sesuatu yang hilang dari umat Islam selama ini hingga terbelakang dan terjajah.
Sesuatu itu adalah ruh al-Qur'an. Sehingga kemudian lahirlah slogan "Kembali kepada al-Qur'an dan
Sunnah" dan "Pintu Ijtihad Tidak Tertutup" dengan tujuan untuk menggali semangat dan jiwa Kitab
Mulia umat Islam. Jadi, tidak seperti pada Abad Pertengahan, di mana al-Qur'an sekadar dibaca untuk
mengharap pahala atau sebagai jimat, pada zaman modern, alQur'an kembali dikaji dan dijadikan
sumber ilham dan pemikiran. Mulai banyak ulama dan pemikir yang mencoba mencari solusi bagi
keterbelakangan Dunia Islam dengan menafsir-ulang al -Qur'an dan Sunnah. Beberapa nama dapat
disebutkan di sini: Jamaluddin al -Afghani, Muhammad 'Abduh, Mohammad Iqbal, dan pada abad ke -
20, Sayyid Quthb, Syed Hossein Nasr, dan Arkoun. Namun, di antara begitu banyak ulama dan
pemikir itu, masih cukup langka ilmuwan Muslim yang-dengan kepakarannya dalam ilmu kealaman
dan matematika-berusaha menemukan kesesuaian ayat -ayat Qur'aniyah dan ayat-ayat Kauniyah di
alam semesta.
 
Syukurlah, sejak dekolonisasi Dunia Islam sekitar pertengahan abad ke-20, keadaan berubah.
Dengan semakin banyaknya ilmuwan Muslim yang menguasai kepakaran dalam bidang sains modern
dan matematika, kesesuaian ini semakin banyak digali dan ditemukan. Diskusi -diskusi dalam
berbagai forum dan yang dilakukan melalui berbagai media dengan ilmuwan Barat, memungkinkan
ilmuwan Muslim yang mempunyai basis pengetahuan Qur'aniyah cukup sekaligus sains modern yang
baik mendapati banyak "titik temu" antara kedua jenis ayat Tuhan itu.
 
Dalam forum -forum diskusi ini semakin terkaji bahwa alam semesta --    al -Qur'an dan sains
modern sama-sama mengisyaratkan bahwa alam semesta tidak satu-bukan ada dengan sendirinya
sebagaimana kesimpulan berani dari ilmuwan ateis. Alam semesta juga mustahil diciptakan secara
sembarangan dan serampangan, dan pasti diciptakan dengan suatu ran cangan oleh Satu Wujud Yang
Maha Perancang sebagaimana diisyaratkan oleh tanda-tanda kekuasaan -Nya yang lain, yaitu ayat-
ayat Kitab Suci yang juga datang dari -Nya. Memang, isyarat bahwa alam semesta dirancang oleh
Sang Perancang Agung dinyatakan dalam bukti -bukti yang termaktub di dalam al -Qur'an, Kitab -Nya
yang mulia. Ayat-ayat al-Qur'an berkenaan dengan kosmologi atau berbagai fenomena alam yang
dahulu tidak dapat ditafsirkan secara memadai, kini -dengan sains modern-dapat ditafsirkan lebih
memuaskan, seperti pertanyaan tentang bagaimana alam semesta diciptakan dan hubungannya
dengan frase kun fayakun (Jadi, maka jadilah) dalam al-Qur'an.
 
Buku di tangan pembaca ini merupakan hasil pencarian penulis "menemukan" sebagian kecil
dari kesesuaian ayat -ayat al-Qur'an dengan fenomena alam berdasarkan sejumlah wacana yang
berlangsung di dunia sains modern. Ternyata, bilangan prima dengan pelbagai operasinya, yang
dalam sains diyakini oleh ilmuwan dan matematikawan sebagai kodetifikasi desain alam semesta,
ternyata juga digunakan oleh al-Qur'an, untuk menjaga keterpeliharaannya. Peletakan Surat al -Hadid
(Surat Besi, surat ke -57) dalam al -Qur'an ternyata bersesuaian dengan letak unsur besi dalam tabel
periodik kimia, demikian juga dengan temuan ilmiah bahwa unsur besi memang benarbenar diturunkan
[dari "langit", dari bintang lain] sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an. Selain itu, masih ada
beberapa "temuan" penulis lainnya.
 
Kami menyajikan buku ini dengan harapan dapat menambah keyakinan pembaca bahwa al-
Qur'an mustahil dibuat oleh manusia (Muhammad Saw) dan "sistem pengamanan" -nya pun dirancang
sedemikian rupa oleh Penciptanya sehingga akan segera diketahui jika ada yang mengubah,
memalsukan, menambah atau mengurangi jumlah dan susunan ayat. Buku ini, rencananya akan
diikuti oleh sejumlah buku karya penulis yang sama dengan semangat yang sama pula. Mudah-
mudahan buku ini dapat meningkatkan penghayatan kita pada al -Qur'an dan membersihkan tauhid
kita. Amin ya Rabbal'Alamin.
 
Bandung, Mei 2004

Sumber: Buku Karya Arifin Muftie

0 komentar: